JAKARTA, Kompas Sulawesi – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex (BFC) oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.
Salah satu tersangka yang ditetapkan merupakan mantan Direktur Utama Krakatau Steel inisial FB.
“Berdasarkan hasil penyidikan dan gelar perkara yang dilaksanakan hari ini Senin (18/07/2022), tim penyidik telah menemukan alat bukti yang cukup dan menetapkan lima orang tersangka,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, dalam video yang diterima, Senin (18/07/2022).
Adapun lima orang tersangka tersebut adalah FB selaku Direktur Utama PT Krakatau Steel periode 2007 s.d 2012, ASS selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005 s.d 2010, Deputi Direktur Proyek Strategis 2010 s.d 2015, BP selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012 s.d 2015, HW alias RH selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011, General Manager Proyek PT. KS dari Juli 2013 s/d Agustus 2019, dan MR selaku Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013 s.d 2016.
Para tersangka selanjutnya ditahan di tempat berbeda, tersangka BP dan HW ditahan di Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat Salemba, sedangkan MR dan ASS ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung. Sementara tersangka FB menjadi tahanan kota.
Kasus itu bermula pada tahun 2011-2019 PT. Krakatau Steel (persero) melakukan pengadaan pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex (BFC) yaitu pabrik yang melakukan proses produksi besi cair (hot metal) dengan menggunakan bahan bakar batubara (kokas) dengan tujuan untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah karena dengan menggunakan bahan bakar gas, maka biaya produksi lebih mahal.
Pembangunan pabrik blast furnace complex (BFC) tersebut awalnya disetujui Direksi PT Krakatau Steel (Persero) pada tahun 2007 dengan kontraktor pemenang adalah MCC CERI konsorsium dan PT Krakatau Enginering. PT Krakatau Enginering merupakan anak usaha dari PT Krakatau Steel.
Proyek tersebut merupakan pengadaan pembangunan pabrik BFC dengan bahan bakar batubara dengan kapasitas 1,2 juta ton/tahun hot metal. Akan tetapi dalam pelaksanaan perencanaan, tender atau lelang, kontrak, dan pelaksanaan pembangunan, telah terjadi penyimpangan.
“Namun pengadaan tersebut dilakukan secara melawan hukum, yang seharusnya MCC CERI melaksanakan pembangunan sekaligus pembiayaannya. Namun pada kenyataannya dibiayai oleh konsorsium dalam negeri atau himbara,” kata Burhanuddin.
Awalnya nilai kontrak pembangunan pabrik Blast Furnace Complex PT Krakatau Steel dengan sistim terima jadi sesuai dengan kontrak awal yaitu Rp 4,7 triliun. Namun hingga adendum ke-4 membengkak menjadi Rp 6,9 triliun.
“Selanjutnya hasil pekerjaan saat ini tidak dapat dimanfaatkan, ini sama sekali mangkrak, karena tidak layak serta terdapat pekerjaan yang belum diselesaikan dikerjaan,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus ini sebesar Rp 6,9 triliun sesuai dengan pembiayaan yang dikeluarkan oleh konsorsium himbara.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan tim penyidik telah memeriksa 119 orang saksi. Selain itu juga telah dilakukan penyitaan terhadap dokumen terkait perencanaan proyek BFC, pengadaan proyek BFC, pelaksanaan pengerjaan proyek BFC, pembayaran kepada vendor, Pembiayaan oleh bank sindikasi dan dokumen terkait lainnya. Sementara penggeledahan dilakukan pada Kantor PT Krakatau Steel di Cilegon Banten dan PT. Krakatau Engineering.
Selain itu tim penyidik juga telah meminta keterangan dari Ahli Keuangan Negara, Ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Ahli Metallurgy, Iron and Steel Making, Blast Furnace Process, Ahli Blast Furnace, serta Ahli Teknik Sipil dan Manajemen Konstruksi. Selain itu, adanya alat bukti surat/dokumen terkait perencanaan dan pelaksanaan terkait proyek BFC.
Sumber Artikel : detik.com